Belajar dengan lancar merupakan harapan bagi setiap anak, orang tua, guru, atau siapa saja yang peduli terhadap keberhasilan anak tersebut. Sayangnya belajar tidak selamanya lancar. Ada saat tertentu anak mengalami kesulitan. Ada pula anak yang sering mengalami kesulitan belajar. Bahkan ada anak yang terus-menerus mengalami kesulitan belajar. Seringkali anak harus menanggung stigma “kurang cerdas” karena kesulitan belajar itu. Padahal tidak selamanya kesulitan belajar disebabkan oleh faktor inteligensi.
Kesulitan belajar bisa terjadi karena faktor eksternal anak seperti kurikulum, metode mengajar guru, dan lingkungan belajar. Tulisan ini lebih dibatasi membahas faktor internal anak. Anak mengalami kesulitan belajar sering dipandang tidak mampu, sehingga diberi label learning disability (ketidakmampuan belajar). Kesulitan belajar sering juga dianggap sebagai gangguan, dengan istilah learning disorder (gangguan belajar). Pennington (2009) memandang pengertian gangguan belajar lebih luas daripada ketidakmampuan belajar. Gangguan belajar menekankan pada gangguan perkembangan saraf (neurodevelopment disorder) yang berdampak pada kelancaran belajar bahasa, belajar kecakapan akademik, atau belajar kecakapan sosial. Gangguan belajar bisa juga disebabkan oleh kelemahan alat indra atau gangguan fisik lainnya.
Orang yang mengalami kesulitan belajar, adakalanya bisa belajar tetapi dengan cara yang berbeda dari yang umum digunakan. Orang demikian mempunyai potensi individual untuk belajar dengan cara lain. Karena itu muncul istilah yang lebih humanistik dengan memandang orang yang mengalami kesulitan belajar bukan tidak mampu, melainkan perlu menggunakan cara berbeda. Istilah yang lebih mengakomodasi potensi individual untuk belajar dengan cara berbeda adalah learning difference (perbedaan belajar). Orang yang mengalami kesulitan belajar bukan dipandang tidak mampu, melainkan differently abled atau mempunyai kemampuan berbeda. Statemen kemampuan berbeda menjadi tantangan bagi orang tua, guru, pendidik, atau orang dewasa di sekitar anak untuk membantu anak tersebut menemukan cara belajar yang sesuai karakteristik individual. Anak-anak yang mempunyai kelemahan pada suatu bidang perlu dibantu menemukan potensi untuk berkembang di bidang lain.
KESULITAN BELAJAR BAHASA
Kesulitan belajar bahasa ada yang berkaitan dengan kemampuan ekspresif yang mengacu pada produksi vokal, isyarat, atau sinyal lisan. Ada pula yang berkaitan dengan kemampuan reseptif yang mengacu pada proses menerima dan memahami pesan-pesan kebahasaan (APA, 2013). Pembahasan pada bagian ini lebih fokus tentang gangguan belajar spesifik yang disebut disleksia. Informasi tentang disleksia cukup tersedia di internet, misalnya dari NHS (National Health Service) di Inggris dan Mayo Clinic di Amerika Serikat. Informasi praktis dari NHS (2022) dan Mayo Clinic (2022) tentang gejala disleksia antara lain: terlambat bicara, lambat belajar kata-kata yang baru, bermasalah untuk membentuk kata dengan benar (misalnya suku kata yang tertukar atau bingung dengan kata yang bunyinya hampir sama), sulit mengingat nama dan bunyi huruf, bingung terhadap huruf yang kelihatan mirip dan menempatkan huruf dengan cara yang salah (misalnya “b” tertukar dengan “d”), bingung urutan huruf dalam kata, ejaan tidak konsisten, lambat membaca atau salah membaca, bermasalah memahami apa yang didengar, bisa menjawab lisan tetapi sulit menuliskan, sulit menentukan urutan (misalnya nama hari atau alfabet), lambat menulis, tulisan tangan sulit dibaca, bermasalah waktu menyalin atau menyelesaikan pekerjaan tertulis.
Disleksia bisa terjadi pada orang yang mengalami kerusakan otak (misalnya karena stroke atau kecelakaan) yang disebut acquired dyslexia. Bisa juga terbawa sejak lahir karena gangguan perkembangan saraf, yang disebut developmental dyslexia (VandenBos, 2013; Herwegen & Riby, 2015). Karena otak adalah pusat sistem saraf, maka gangguan perkembangan saraf sering disebut gangguan perkembangan otak.
Disleksia bukan pertanda masa depan suram. Banyak temuan orang-orang terindikasi disleksia mempunyai kelebihan di bidang lain seperti kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah. Disleksia tidak menjadi kesulitan bagi orang untuk meraih sukses. Sebaliknya juga tidak berarti orang disleksia pasti sukses di kemudian hari. Reid (2011) menekankan anak disleksia memerlukan:
- intervensi dari pembimbing yang terlatih dengan menggabungkan beberapa cara yang fokus pada komponen membaca, menulis, dan mengeja;
- dukungan kurikulum untuk memastikan mereka memahami materi dan tugas yang diberikan;
- bantuan pengembangan keterampilan untuk membuat pembelajaran lebih efektif bagi mereka, cara ini memungkinkan mereka menjadi mandiri yang penting mendukung pembelajaran.
Peran orang tua, guru, pendidik sangat penting untuk membantu anak disleksia mengatasi kesulitan. Panduan praktis dari Hultquist (2006) berikut ini mungkin membantu.
- Jangan menghukum anak karena kesalahan ejaan dalam pekerjaan sehari-hari seperti tes, tugas kelas, penulisan jurnal, dan lain-lain. Walaupun tetap dijaga agar anak menggunakan ejaan yang benar pada akhir pekerjaan.
- Penting untuk menentukan kapan dan mengapa suatu tulisan harus rapi. Ini akan menghilangkan beban anak harus membuat huruf demi huruf sempurna setiap saat.
- Beri kesempatan anak bicara sebelum menulis. Ini akan membantu mereka mengorganisasi pikiran sebelum menuangkan di atas kertas. Mungkin bermanfaat untuk merekam pembicaraan tersebut sehingga anak dapat mengingat kembali apa yang ingin mereka katakan.
- Batasi jumlah kata yang ejaannya harus dipelajari anak setiap minggu.
- Ajarkan keterampilan mengetik dan izinkan anak menggunakan word processor, termasuk untuk pekerjaan rumah.
- Karena siswa lambat membaca, kurangi jumlah bacaan yang harus mereka lakukan. Misalnya, batasi waktu membaca pekerjaan rumah tidak lebih dari sekian menit.
- Hindari meminta anak membaca keras-keras di depan orang lain.
- Biarkan anak menggunakan jari, selembar kertas, bookmark, atau perangkat lain untuk membantu mereka melacak sampai di mana mereka membaca.
KELEMAHAN ATENSI DAN MEMORI
Atensi dan memori adalah dua aspek yang berkaitan erat dalam proses kognitif. Kedua aspek kognitif ini penting untuk mendukung keberhasilan belajar. Anak belajar membutuhkan atensi agar fokus menerima informasi melalui alat indra. Dalam kondisi normal, mata dan telinga adalah dua indra yang paling sering digunakan. Anak yang mengalami kelemahan penglihatan atau pendengaran mungkin memberdayakan indra lain untuk belajar. Penggunaan indra mana pun waktu belajar tetap membutuhkan atensi dan memori.
Ketika berhadapan dengan pelajaran ada anak tertentu yang sulit memfokuskan atensi atau berkonsentrasi, akibatnya anak tersebut sulit mengikuti pelajaran. Kesulitan berkonsentrasi jika hanya terjadi sewaktu-waktu kemungkinan bisa karena faktor kelelahan, sakit, atau stress. Tetapi jika kesulitan berkonsentrasi itu terjadi setiap kali belajar mungkin anak tersebut mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Menurut Brown (2013) ADHD adalah sindrom kompleks dari kelemahan perkembangan executive function, sistem swa-manajemen otak, suatu sistem yang sebagian besar berupa operasi tanpa sadar. Kelemahan ini secara situasional bervariasi, kronis, dan secara signifikan mengganggu fungsi dalam banyak kehidupan.
Umumnya ADHD dibedakan antara kurangnya perhatian (inattention) dan keaktifan berlebihan (hyperactivity). Sejalan dengan itu VandenBos (2013) mengartikan ADHD sebagai sindrom perilaku yang ditandai terjadi terus-menerus (misalnya selama 6 bulan atau lebih) dari enam atau lebih gejala yang meliputi: (a) kurangnya perhatian (misalnya gagal menyelesaikan tugas atau mendengarkan dengan seksama, sulit berkonsentrasi dan mudah terganggu (terdistraksi); (b) impulsif atau hiperaktif (misalnya sering melontarkan jawaban tanpa pikir, tidak sabar, gelisah, tidak bisa diam, sulit mengatur pekerjaan atau menunggu giliran atau duduk dengan sabar, bicara berlebihan, berlari-lari, memanjat). Untuk mudah memberikan bantuan bagi anak ADHD, Hultquist (2006) memberikan petunjuk praktis sebagai berikut.
- Tempatkan siswa di bangku yang bebas gangguan tetapi dekat titik pengajaran.
- Bantu siswa memulai pekerjaan kelas. Minta mereka mengulangi petunjuk dengan tenang. Periksa kembali secara berkala untuk memastikan mereka masih pada jalur yang benar.
- Uraikan tugas menjadi bagian yang lebih kecil.
- Jangan mengharapkan siswa bekerja secara mandiri lebih lama dari rentang atensi mereka. Periksakan secara teratur untuk melihat bagaimana mereka melakukan dan bantu mereka tetap fokus pada tugas.
- Berikan waktu ekstra kepada siswa untuk mengerjakan tugas dan tes, atau kurangi tugas sehingga bisa diselesaikan sesuai jam pelajaran.
- Jangan mengambil waktu istirahat sebagai hukuman atas perilaku yang salah, atau menggunakan waktu istirahat untuk mengerjakan tugas.
- Berikan umpan balik secara teratur dan puji keberhasilan. Berikan lebih banyak penghargaan daripada hukuman. Pujian harus merinci perilaku yang tepat dan disampaikan sesegera mungkin.
- Koordinasikan tujuan perilaku dengan orang tua dan profesional lain yang membantu siswa.
- Berikan hanya satu tugas pada satu waktu. Berikan jeda di antara tugas-tugas.
- Jaga agar aturan dan instruksi tetap jelas dan singkat, dan sertakan reminder tertulis atau bergambar.
- Ubah atau ganti reinforcer atau penghargaan secara teratur (misalnya, setiap dua hingga tiga minggu).
- Gunakan kartu laporan perilaku harian atau mingguan untuk memberi informasi kepada orang tua dan untuk mengkoordinasikan program perilaku antara keluarga dan sekolah.
- Sediakan buku pelajaran kedua untuk siswa simpan di rumah.
- Beri nilai pekerjaan rumah berdasarkan apa yang dicapai dalam waktu tertentu.
- Sediakan graphic organizer di awal pelajaran dan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.
- Berikan waktu istirahat yang cukup selama hari sekolah agar siswa dapat bangun dan berolahraga.
- Jangan menugaskan lebih dari satu proyek berjangka panjang.
- Siapkan perlengkapan tambahan, seperti pensil, di setiap kelas.
- Biarkan siswa fokus mendengarkan saja, daripada mereka harus sekaligus mendengarkan dan mencatat. Dua cara yang mungkin untuk melakukannya adalah dengan memberi mereka copy catatan guru dan dengan memberi mereka advance organizer yang sebagian sudah diselesaikan secara garis besar.
- Gunakan kuis singkat yang lebih sering daripada tes panjang namun jarang.
- Beri kesempatan siswa untuk menulis langsung pada tes.
- Jangan memanggil siswa di kelas kecuali jelas mereka telah aktif memperhatikan.
- Biarkan siswa mendengarkan musik saat bekerja, jika ia merasa lebih baik. Ada siswa yang lebih mudah memusatkan atensi dengan cara demikian.
DIMENSI SOSIAL
Anak yang mengalami kesulitan belajar kadangkala diisolasi oleh teman-temannya. Anak itu sendiri kadangkala juga mengalami hambatan untuk bergaul. Penelitian tentang hubungan anak yang mengalami kesulitan belajar dengan teman sebaya, menemukan bahwa anak-anak dan remaja yang mengalami kesulitan belajar lebih mungkin ditolak atau diabaikan secara sosial oleh teman sebaya (Wong et.al., 2008).
Kondisi yang lebih mencemaskan adalah terjadinya bullying (perundungan) terhadap anak yang mengalami kesulitan belajar. Padahal selayaknya anak-anak yang mengalami kesulitan belajar justru memerlukan dukungan dari teman-temannya. Kesulitan belajar hendaknya tidak menjadi alasan untuk mengurangi kesempatan anak bergaul dengan teman-temannya. Hubungan sosial yang baik justru diharapkan dapat membentuk dukungan bagi anak yang mengalami kesulitan belajar.
Penunlis: Dr. A. Kadir
DAFTAR RUJUKAN
- American Psychiatric Association (APA). 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (Fifth Edition): DSM-5. Arlington: APA.
- Herwegen, J.V. & Riby, D. 2015. (Eds). Neurodevelopmental Disorder: Research Challenges and Solutions. Hove: Psychology Press.
- Hultquist, A.M. 2006. An Introduction to Dyslexia for Parents and Professionals. London: Jessica Kingsley.
- Mayo Clinic. https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/dyslexia/ Diakses tanggal 22 Mei 2022.
- NHS (National Health Service). https://www.nhs.uk/conditions/dyslexia/ Diakses tanggal 22 Mei 2022.
- Pennington, B.F. 2009. Diagnosing Learning Disorder: A Neuropsychological Framework (Second Edition). New York: Guilford.
- Reid, G. 2011. Dyslexia (Third Edition). London: Continuum.