Mendidik Anak Mejadi Problem Solver

Problem solver

Dalam perjalanan hidupnya manusia tidak terlepas dari masalah. Setiap hari rangkaian masalah akan datang seperti gelombang yang menghantam lautan. Kapasitas masalah yang hadir juga berbeda-beda. Bisa sederhana, bisa pula kompleks. Bisa dialami oleh anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Satu-satunya cara menghadapi situasi masalah adalah attitude (sikap seseorang). Sikap untuk berpikir jernih mengidentifikasi masalah dan memecahkan masalah tersebut. Apabila pengendalian sikap dalam menghadapi masalah sudah mengakar kuat pada orang dewasa, maka ia akan tangguh. Oleh sebab itu, kemampuan sikap menghadapi dan memecahkan masalah perlu ditanamkan sejak masa anak-anak, sehingga mereka mampu menjadi problem solver yang baik dalam menghadapi setiap tantangan.

Sebagai institusi pendidikan, persekolahan Kunzhong memiliki tugas utama dalam mendidik anak menjadi problem solver. Menurut Gagne (1970) dalam Learning Theory, Educational Media, and Individualized Instruction, pusat dari pendidikan adalah untuk mengajarkan siswa berpikir menggunakan kekuatan rasional mereka dan menjadi problem solver yang lebih baik. Penyelesaian masalah sebagai hasil pembelajaran sangat penting dilakukan karena semua orang selalu menyelesaikan masalah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga fokus utama dalam pembelajaran adalah belajar menyelesaikan masalah. Guru dapat membimbing siswa dalam belajar memecahkan masalah. Secara umum terdapat empat langkah dalam menyelesaikan masalah yaitu problem (mengetahui masalah), plan (menyusun solusi penyelesaian sesuai hasil diagnosis masalah), action (melaksanakan rencana pemecahan masalah), dan check result (mengevaluasi hasil).

Cara sistematis lain yang juga dapat membiasakan siswa untuk menyelesaikan masalah sehari-hari baik itu pembelajaran di sekolah maupun aktivitas di luar sekolah yaitu dengan Computational Thinking atau berpikir digital. Computational Thinking merupakan keterampilan yang cukup fleksibel dengan menitikberatkan berpikir logis dan kritis. Berpikir digital tidak hanya untuk seorang programmer, namun bisa untuk semua orang. Ketika melihat suatu masalah, berpikir digital dapat membantu menyelesaikannya secara sistematis untuk menghasilkan solusi yang dapat dipahami manusia dan komputer. Cara ini merupakan tingkat pemecahan masalah tertinggi dengan empat komponen penyusunnya yaitu dekomposisi (menguraikan masalah kompleks menjadi sederhana), pengenalan pola (melihat persamaan dan perbedaan untuk menemukan pola khusus), abstraksi (fokus pada detail penting), dan pemikiran algoritmik (prinsip atau langkah dalam pemecahan masalah). Misalnya, saat seorang anak diberi soal matematika yang kelihatannya rumit, ia bisa menggunakan Computational Thinking untuk berpikir kritis dan kreatif menemukan pola praktis sehingga dapat memecahkan soal rumit tersebut menjadi sederhana.

Penyelesaian masalah secara umum yaitu problem (mengetahui  masalah),  plan (menyusun

solusi penyelesaian sesuai hasil diagnosis masalah), action (melaksanakan rencana pemecahan masalah), dan check result (mengevaluasi hasil) sangat berkaitan erat dengan cara berpikir kritis, kreatif, dan sistematis dalam Computational Thinking. Tidak selamanya pemecahan masalah berakhir dengan baik, bisa juga terjadi kegagalan. Maka jika terjadi kegagalan berdasarkan check result (mengevaluasi hasil), pola penyelesaian masalah ini akan kembali berulang dengan melihat apa masalah yang membuat gagal (dimasukkan kembali ke tahap awal yaitu plan), lalu pola akan berputar seterusnya hingga mencapai keberhasilan yang diharapkan dalam evaluasi hasil. Sekolah sebagai  lembaga transmisi  nilai-nilai  pendidikan merupakan faktor kunci  yang  berpengaruh  besar

dalam menentukan keberhasilan membentuk anak menjadi problem solver. Karena itu, pemimpin sekolah dan komponen pendidik di dalamnya perlu bersinergi antara lain dengan meningkatkan komitmen, kolaborasi, koordinasi, dan soliditas bersama.

Penulis: Fransiska Rihardini